Selasa, November 04, 2008

MENGUKUR RESPONS DAN EFEKTIVITAS IKLAN

MENGUKUR RESPONS DAN EFEKTIVITAS IKLAN
BELAJAR DARI EXTRA JOSS
Gencar-gencarnya piala dunia beberapa waktu yang lalu memunculkan banyaknya pertanyaan ke Saya tentang efektivitas iklannya Extra Joss menggunakan bintang sepakbola Italia Del Piero dari berbagai pertanyaan itu kira-kira rangkumannya adalah apakah layak antara hasil yang diperoleh dengan total biaya yang dikeluarkan oleh Extra Joss yang menurut kabarnya lebih dari 30 milyar ?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, pada tulisan yang lalu saya pernah membicarakan tentang Advertising Response Model, yakni sebuah model yang menjelaskan tentang pengaruh iklan terhadap minat beli yang sebelumnya melalui proses Response terhadap merek (yang diiklankan). Dan response terhadap iklannya sendiri. Dalam Admap bulan September 1999, Giep Franzen, seorang professor dari University of Amsterdam menyebutkan kedua hal tersebut sebagai Mental Advertising dan Mental Brand Response. Selain kedua respon tersebut Franzen menambahkan dua hal lagi, yaitu Brand Behavior Response dan Market Responses.

Mental Advertising Responses
sendiri terdiri dari dua hal yakni respon emosional dan sikap terhadap iklan. Aspek emosional iklan ini bisa diukur dengan tiga hal yakni aktivasi, impresi dan ekspresi. Sedangkan pengukuran attitude selain dari ad–awareness juga dengan sikap terhadap pesan yang dibawa iklan, pesan terhadap visualisasi, dan keterlibatan konsumen pada iklan sendiri. Involvement disini berbicara tentang relevansi iklan tersebut pada kehidupan target audiensnya.

Response
terhadap merek yang diiklankan selain dipengaruhi oleh exposure iklannya sendiri, juga dipengaruhi oleh pengalaman konsumen dengan merek tersebut (dari mengkonsumsi, melihat informasinya, dan lain – lain).

Dua ukuran digunakan disini yakni pengaruh iklan terhadap knowledge (cognitive) konsumen dan yang kedua pengaruh iklan pada attitude (affective) konsumen.
Beberapa elemen pengukuran yang cukup penting disini adalah brand awareness, brand meaning, brand feeling, brand position, brand attitude, brand relationship, dan brand behavioral tendensi.

Yang ketiga adalah brand behavioral response, yakni pengaruh iklan terhadap perilaku konsumen terhadap merek yang diiklankan. Ini yang sering merancukan pemilik merek yang sedang memasang iklan. Karena dampak ketiga ini yang diinginkan, tetapi tidak tahu jalan apa yang harus ditempuh dan juga tidak memiliki cara untuk mengukur effektivitasnya. Dorongan iklan pada perilaku konsumen ini sangat variatif mulai dari mendorong konsumen untuk mencari produk yang dimaksud sampai dengan mendorong orang yang sebelumnya tidak loyal menjadi loyal.

Ukuran yang keempat adalah response pasar, dan ini merupakan ukuran agregat dari dampak iklan terhadap merek.

Pengukuran dilakukan dengan mengetahui perubahan yang terjadi pada penetrasi produk, distribusi, penjualan, pangsa pasar, brand equity, harga dan tentu saja profit. Ukuran ini jelas tidak bisa dilakukan oleh sebuah riset external saja, melainkan juga digabung dengan data – data internal perusahaan.

Dimensi penting yang perlu di perhatikan keempat ukuran diatas adalah dimensi waktu yakni dampak langsung, dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang.

Misalnya saja response iklan terhadap perilaku konsumen, tentu tidak dapat diukur dalam jangka pendek tentang dorongan menjadi konsumen yang loyal karena proses pembelian berulang harus dilalui terlebih dahulu baru kemudian sampai ke loyalitas.

Kembali kepada iklan extra joss di depan, seberapa besar sebenarnya dampak iklan ini? Layakkah extra joss mengeluarkan biaya yang sebegitu besar dibandingkan dengan hasil yang diperolehnya ? untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya tidak cukup informasiny apabila diperoleh dari riset external saja, apalagi hanya dengan pengamatan sekilas (seberapa banyak pun teori yang di kuasai dan pengalaman yang di miliki) dampak iklan ini terhadap misalnya penjualan tentu harus didukung oleh data – data internal di perusahaan bersangkutan. Akan tetapi sebuah clue bisa diambil yakni riset yang dilakukan oleh MARS pada awal tahun ini yang meneliti tentang performance merek – merek beberapa produk di Indonesia. Extra Joss yang menjual isinya dan bukan botolnya memunculkan kategori baru minuman energi, yang selama ini dipersepsikan sebagai minuman cair. Tetapi dengan munculnya kategori ini ternyata merek ini tidak hanya dikategorikan sebagai minuman energi saja, tetapi justru menyebrang juga ke minuman serbuk (non energi), dan bersaing dengan Nutrisari dan lain – lain. Artinya adalah bahwaI iklan Extra Joss yang sangat gencar di televisi yang semula fokus ke minuman energi tetapi kemudian tidak mengesankan minuman energi justru membesarkan pangsa pasarnya. Ini berarti bahwa ukuran keempat diatas bisa dianggap positif.

Ukuran pertama tentang response terhadap iklannya sendiri sebenarnya oleh Extra Joss ditumpukan kepada Del Piero. Image positif terhadap bintang bola Itali (walaupun dalam piala dunia kali ini kalah melawan Korea Selatan). Ini diharapkan mendorong sikap positif pula terhadap Extra Joss apalagi eksekusinya tidak menarik. Dari sisi ini kemungkinan besar iklan ini berhasil.

Ukuran kedua agak mudah diprediksi dengan sedemikian heavy exposure extra joss di acara – acara piala dunia. Jelas exposure iklan ini ditangkap oleh target audiencenya karena begitu ada jeda pertandingan langsung Dik Doank muncul bersama Del Piero.

Sementara itu ukuran yang ketiga, yakni brand behavioral response agak sulit untuk dijawab karena untuk itu dibutuhkan sebuah riset yang agak comprehensif. Apakah iklan ini mampu mendorong orang yang tadinya tidak terlalu aware terhadap produk ini kemudian mencari produk dan mencobanya, atau orang yang tadinya memang sudah beberapa kali mengkonsumsi merek ini kemudian mampu terdorong untuk menjadi loyal ? dan beberapa ukuran lain yang perlu di lihat.

Dari keempat ukuran diatas sebenarnya peta pengukuran effectivitas iklan menjadi jelas dan pameo bahwa 50% iklan tidak ada dampaknya serta 50% yang lain lagi tidak bisa diukur dampaknya menjadi tidak berlaku lagi. Hanya masalahnya adalah bahwa pengukuran efektivitas iklan ini di beberapa point pengukuran tidak bisa hanya bisa sekali melainkan ada sebelum iklan (pre-advertising) dan setelah iklan (post advertising). Ukuran brand awareness misalnya tidak bisa di ukur sekali saja setelah iklan tersebut diluncurkan karena misalnya diraih awareness 70 %, jelas tidak akan berbunyi karena sebelum iklan tersebut ditayangkan harus diketahui dulu tingkat awarenessnya. Beberapa ukuran lain memang bisa dilakukan sekali saja, misalnya advertising awareness, advertising recall, sikap terhadap iklan, dan beberapa hal yang lain. Lagi – lagi kuncinya tidak lain adalah riset yang teratur akan memudahkan perusahaan untuk mengukur performancenya.
Source :
REFRINAL, S.KH., MM
Managing Partner
Logic Management & Consultant
Strategic, Marketing, Management & Research
Bogor - Jawa Barat




eva joseva <evajoseva@yahoo.com>
wrote: Dear Pak Refrinal & Forum,
Narasinya sangat bagus.

Saya punya satu contoh kasus.
Sebuah perusahaan bergerak di bidang jasa, beriklan di media lokal.
Katakanlah iklan di koran dan radio setempat.
Setelah beriklan, dan dianalisis, ternyata efektifitas iklan tersebut sangat kurang memuaskan.

Hasil yang dapat disimpulkan adalah bahwasanya masyarakat di daerah tersebut bukanlah mereka yang mudah dipengaruhi oleh iklan.
Mereka sebatas mengetahui bahwa ada suatu produk/jasa yang ditawarkan, tapi mereka tidak berminat untuk mencoba, membeli atau menggunakan produk/jasa yang ditawarkan tersebut.

Dalam hal ini, perusahaan tidak dapat berbuat lebih.
Untuk beriklan ke media nasional (TV maupun media cetak) pasti membutuhkan extra dana.
Iklan dalam hal ini hanya sebatas untuk meningkatkan brand awareness saja.
Hanya sebatas masyarakat mengenal produk/jasa nya saja, tanpa keinginan menggunakannya.

Perlu diingat bahwasanya perusahaan berdiri di suatu tempat atas suatu pertimbangan tertentu. Salah satunya adalah karena di lokasi tersebut produk / jasa mereka memang dibutuhkan (baik konsumen dalam kota atau pendatang).

Pertanyaannya adalah, apakah beriklan di media lokal (BUKAN MEDIA NASIONAL) tetap diperlukan? Kalau hanya untuk meningkatkan awaraness di konsumen, kenapa mesti? Toh tanpa iklan di media lokal perusahaan juga sudah cukup dikenal masyarakat????



Dear Eva dan Rekan-Rekan milist,
Saya sangat tertarik membaca kasus yang anda contohkan, dan kasus ini sebenarnya sebuah kasus yang sangat umum dan sangat sering terjadi, terutama pada sebuah perusahaan yang sedang konsentrasi membangun ekuitas merek dengan Market development strategy atau product development strategy, atau melakukan keduanya sekaligus. Implementasi strategi ini diputuskan biasanya berdasarkan analisis yang mendalam dengan melakukan audit terhadap strategi-strategi yang telah dilakukan sebelumnya sehingga menghasilkan sebuah grand strategy yang jitu dan nyaris tanpa kesalahan.
Hal ini tentunya bisa dilakukan dengan membuat design/ methodologi yang komprehensif yang menghasilkan internal evaluation matrix index dan external evaluation matrix index, dimana kedua indeks ini bisa dipetakan menjadi sebuah protfolio produk dengan internal-external matrix, atau matriks-matriks lainnya seperti general electric (GE), boston consultating group (BCG), grand strategy matrix, SPACE matrix, dan beberapa tool lain yang bisa digunakan, untuk mengukur kinerja sebuah merek/ produk hingga saat ini dan membuat portfolio dimasa depan.
Penggunaan tool ini tentunya, bisa mengeliminir keyakinan (feeling) yang berlebihan para pengambil keputusan seperti manajer pemasaran, bahkan direktur pemasaran sekalipun, sehingga apapun yang akan dilakukan harus diukur secara spesifik dan detail sehingga kesalahan sekecil apapun bisa terbaca.
Penggunaan tool-tool dalam strategy yang sudah ada sangat memerlukan keahlian dan kecermatan yang cukup tinggi dan perlu dilakukan pengujian berkali-kali dengan tool yang berbeda sehingga strategi-strategi yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan dan bisa dibuat implementasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penggunaan tool-tool semacam ini juga bisa membantu perusahaan untuk mengidentifikasi brand competitor dalam skala nasional maupun skala daerah.
Uraian diatas mengisyaratkan bahwa kesalahan utama para manager/ direktur pemasaran adalah memberlakukan sebuah strategi secara umum, bahkan strategi-strategi yang mereka formulasikan bersifat terlalu umum, sehingga terjadi apa yang saya sebut sebagai inkonsistensi strategy, padahal semestinya harus disadari bahwa strategy itu memiliki sifat totem pro parte atau totem pars prototo dan hampir tidak mungkin kedua sifat tersebut sekaligus.
Kembali ke pertanyaan Ibu Eva, pada dasarnya tujuan pembuatan iklan adalah membangun komunikasi secara universal dengan konsumen ataupun bukan pelanggan. Dan pada dasarnya iklan itu tidak ditujukan untuk seluruh kalangan, melainkan segmen-segment yang sedang disasar menjadi target market sebuah produk, atau bahkan ada iklan yang dibuat hanya untuk membuat segment yang selama ini satisfied menjadi like the brand, bahkan membujuk mereka menjadi commited buyer. Jadi tidak selamanya iklan itu ditujukan untuk mesasar konsumen yang dikategorikan sebagai consumer competitor atau switcher. Jadi sangat tidak tepat rasanya jika pembuatan iklan diartikan secara sempit. Ingatlah, prestasi dalam pemasarana adalah peningkatan penjualan dengan pengelolaan yang maksimal terhadap pasar yang sudah ada, dan sangat bijak jika perluasan pasar itu dilakukan setelah perusahaan yakin betul bahwa pasar yang selama ini ada telah terkelola dengan baik.
Statistik yang diberlakukan dalam berbagai riset, jika sebuah perusahaan mampu mengelola 5% saja dari total populasi maka itu sudah baik, dan jika ternyata 5% populasi itu dikelola dengan baik menjadi satisfied, like the brand dan commited buyer, maka ini sungguh merupakan prestasin yang luar biasa. Apalagi jika pengelolaan itu dibarengi dengan membuat segmentasi yang jelas dan menciptakan sebuah positioning brand yang mewakili semua segment yang terkelola, maka dapat dipastikan bahwa segala inovasi yang dilakukan atas semua merek merupakan nilai tambah (value added) bagi pelanggan, bahkan inovasi yang dilakukan dapat menjadi solusi bagi konsumen.
Untuk itu, sangat tidak cerdas rasanya kalau sebuah merek membabi buta menjadikan semua populasi disebuah negara menjadi target market, sehingga strategy apapun yang dilakukan menjadi tidak fokus bahkan sia-sia, karena merek yang dipasarkan tidak punya identity bahkan tidak punya personality sama sekali. Sangat dimungkinkan bahwa penjualan-penjualan yang dihasilkan tidak akan bertahan lama, bahkan merek itu akan hilang dengan mudah jika ada subtitusi produk. Jadi iklan itu sebenarnya memang dibuat untuk menjadi pengingat bagi setiap konsumen pengguna sebuah merek, bahkan jika iklan sebuah merek mampu menjadikan sebuah merek itucbagian dari sebuah gaya hidup atau indentitas konsumen, maka sangat dimungkinkan peningkatan penjualan yang terjhadi karena pelanggan yang sama meningkatkan usage, dan perusahaan dapat membebankan biaya iklan kepada pelanggan, dengan menjadikan kompenen biaya iklan sebagai bagian dari variable harga.
Jadi jangan lihat iklan tersebut dari sisi biaya yang dikeluarkan, melainkan kajilah kontribusinya terhadap ekuitas sebuah merek. Sangat strategis rasanya sebelum iklan dilounching, baik melalui media cetak ataupun elektronik, diuji dengan aktivitas Forum Discussion Group (FGD) dengan mengundang beberapa orang yang mewakili setiap segment yang disasar oleh produk tersebut. Jika ternyata mereka mampu menangkap pesan iklan tersebut maka iklan tersebut sudah dapat ditayangkan, namun jika sebaliknya ternyata sebagian besar mereka mampu menangkap pesan secara berbeda, atau bahkan signifikan berbeda dengan yang sebenarnya, maka perlu dilakukan design ulang.
Tujuan jangka pendek pembuatan sebuah iklan adalah membangun brand awareness untuk segment baru atau new commers dengan cara menjadikan konsumen yang selama ini tergolong dalam kategori consumer competitor menjadi switcher. Sedangkan tujuan jangka menengahnya adalah untuk memantapkan brand association dan brand perceived quality dengan harapan menjadikan konsumen dalam kategori satisfied, habitual buyer dan like the brand, serta tujuan jangka panjang pembuatan sebuah iklan adalah mengubah semua afiliasi konsumen atas sebuah merek sedemikian rupa sehingga menjadi brand loyalty dengan menjadikan semua pelanggan/pengguna sebuah merek menjadi commited buyer yaitu mereferensikan produk tersebut kepada orang lain. Dan pengalaman membuktikan bahwa tidak ada iklan apapun yang lebih baik daripada referensi seorang yang puas menggunakan sebuah merek kepada para follower.
Untuk itu sudah tidak lagi penting untuk dibahas apakah iklan itu dimuat secara lokal ataupun nasional, karena itu sangat bergantung pada tingkat kebutuhan dan portfolio sebuah merek. Demikianpun bentuk iklan tersebut apakah dipasang di media cetak ataupun elektronik sangat bergantung pada portfolio merek yang didukung oleh riset pasar yang dilakukan secara berkala.
Namun sekali lagi, janganlah menjadikan brand awareness sebagai patokan untuk mengukur keberhasilan sebuah penjualan, karena memang awarenss itu hanya untuk mengenalkan sebuah merek pada sebuah segment. Bahkan awareness itu tidak berhubungan sama sekali dengan market share, karena banyak merek yang memiliki awareness tinggi namun secara share justru rendah. Atau sangat lumrah ditemukan bahwa merek itu secara awareness sangat excellent namun sangat sedikit pembelinya. Siapa yang tidak kenal Mercedes Benz, BMW, Electrolux dll, namun apakah semua orang membelinya?
Jadi jika brand image itu dimasukan sebagai sebuah model persamaan, dan jika varibel brand equitu itu terdiri dari Brand Awaress, Brand association, brand perceived quality dan Brand loyalty, maka konstribusi brand awareness bagi peningkatan penjualan sebuah merek tidak lebih dari 5%. Sangat kecil bukan? Jadi sangat cerdas jika semua industry yang sedang tumbuh untuk memikirkan ini...Ciptakan konsumen, lupakan penjualan!
Semoga uraian saya ini mampu menjawab pertanyaan Bu Eva dan juga rekan-rekan milist lainnya. Dan saya snagta yakin diantara anda semua banyak yang jauh lebih baik dan keakuratan pengalaman yang tinggi untuk membahasnya.
Lebih kurang saya mohon maaf.
REFRINAL, S.KH., MM
Praktisi dan Pengamat Pemasaran

Tidak ada komentar: