Jumat, Juli 18, 2008

KECAPNYA NOMOR SATU...

Saya baru kembali dari Bengkulu.

Oleh-olehnya tidak banyak. Tapi saya dengan sengaja membawa satu botol kecap, buatan lokal, dari daerah Lubuk Linggau. Halaaaah...wong kecap saja kok mesti bawa dari jauh, ya ? Apalagi bawanya mesti hati-hati banget. Dibungkus kertas koran sampai ketat dan kantong plastik dua lapis. Lalu disimpan di dalam tas yang saya jaga sendiri di dalam kabin. Dipegang dengan sangat hati-hati, serta tidak boleh sampai disenggol orang. Duuuh...menggendong sebotol kecap sama repotnya dengan menggendong bayi...hik hik hik...

Ini bukan yang pertama kali saya membawa kecap dalam perjalanan, mesti kerepotan dan kadang mesti adu otot dulu dengan petugas bandara. Maklum, menurut peraturan penerbangan ( dan barangkali juga standar keamanan) cairan seperti kecap ini tidak boleh dibawa begitu saja. Kuatir meledak atau tumpah karena botolnya pecah. Tapi demi perburuan atas selera ini, selalu saya bela-belain untuk membawa barang sebotol dua botol kecap dari setiap perjalanan saya.

Begitulah. Saya suka mencari kecap produk lokal. Ke mana pun saya pergi. Kadang saya harus menyusuri pasar-pasar tradisional, atau mencari warung yang penampilannya lusuh dan amburadul. Hanya untuk mendapatkan produk kecap buatan asli setempat. Kadang mereknya tidak jelas. Kadang stikernya terkesan murahan. Kadang botolnya pun tidak jelas lagi warnanya. Agak berdebu dan tersembunyi di rak bagian belakang. Batas waktu produksinya pun entah sampai kapan. Tapi yang jelas, produk kecap seperti ini selalu menimbulkan rasa penasaran.

Mau tahu rasanya ? Sangat beraneka !

Tadinya saya bukan penggemar kecap , kecuali kecap asin cap angsa buatan Medan, yang sudah saya kenal sejak masa kanak-kanak. Awalnya lidah saya ini sudah terpengaruh oleh rasa asin kecap Medan yang untuk ukuran kelezatan memang tidak ada duanya. Tapi berdasarkan pengalaman dan juga perjalanan ke sana ke mari, akhirnya mau tidak mau saya pun harus menyesuaikan diri dengan rasa kecap yang tersedia di pasar setempat.
Lalu timbul rasa penasaran. Kenapa setiap daerah punya kecap dengan rasa yang beraneka ? Mulai dari kecap yang asinnya lebih gawat dari air laut, hingga kecap yang manisnya seperti gulali, dan kecap yang berasa di tengah-tengah. Cukup asin dan manisnya. Belum lagi aromanya. Ada yang beraroma ikan, beraroma udang, beraroma mirip terasi, beraroma gula karamel, dan ada yang tidak berasa aroma sama sekali.

Lidah saya pun mulai bereksperimen. Jilat sana jilat sini...nyemm...nyemm ! Akhirnya semua kecap menjadi enak dan lezat di lidah saya. Entah karena kemampuan adaptasi lidah memang luar biasa, atau karena saya menyesuaikan rasa dan aroma dengan keperluannya.

Belakangan saya bisa memilih, kecap rasa apa yang cocok untuk masakan matang. Kecap mana yang enak untuk disiram begitu saja di atas makanan. Nyaris tidak ada hari tanpa kecap. Semur, jelas pakai kecap. Capcay juga dikecrutin kecap asin dan aroma ikan. Sup daging atau ayam ? Boleh jugalah....Tahu telor, waaah...sangat perlu. Ibaratnya nggak ada tahu telor tanpa kecap. Telor mata sapi biasa ? hmm...pasti perlu kecap yang dicampur irisan bawang dan cabe rawit. Semua deeeh, pakai kecap. Bahkan kadang saya juga mencoba menyiram kecap manis yang kental di atas gado-gado dan pecel, yang tidak mungkin akan saya lakukan dengan kecap asin ala Medan tempo doeloe...he he he..
*
Ngomong-ngomong soal kecap, saya jadi ingat iklan perusahaan kecap yang sudah menggurita seperti raksasa. Semua produsen kecap kelas raksasa ( atau anak raksasa) akan mengatakan bahwa rasa dan kualitas kecapnya adalah nomor satu. Perhatikanlah...Tidak ada perusahaan kecap yang berani bilang bahwa rasa kecapnya adalah nomor dua...( hahaha...ya, iyalah...). Padahal kita tahu, soal rasa bukanlah soal ranking, tapi soal selera.

Jadi bagi saya, kualitas memang boleh nomor satu. Tapi tentang rasa...nanti dulu... Jangan sampai kita didikte oleh produsen !

Jujur saja, saya kurang menyukai kecap yang sudah tidak memiliki ‘rasa asli’ khas daerah. Karena dengan standar rasa tertentu di mana pun kita membeli kecap merek tersebut, maka rasanya akan selalu sama. Tidak ada lagi rasa ‘penasaran’nya. Tidak ada kejutannya. Padahal kadang-kadang, dalam proses menyantap makanan juga terdapat proses eksperimen dan petualangan selera. Dan dengan kecap, kita bisa berekperimen soal rasa dan selera yang tidak bisa disamakan di mana pun kita berada.

Saya bukan fanatik merek. Jadi di dapur saya yang mungil itu kadang ada 3 atau 4 merek dan beraneka rasa kecap. Tergantung bagaimana mood saya dalam urusan per-kecap-an ini. Kalau saya sedang rajin jalan dan berburu, maka berbagai merek pun memenuhi lemari dapur saya. Ada kecap Tangerang ( yang mesti dipesan khusus ke warungnya), kecap Cirebon, Kecap Kuningan, Kecap Semarang, Kecap Sidoarjo, Kecap Jogya, hingga kecap Medan yang rutin harus hadir di antara bumbu masak lainnya. Semuanya akan silih berganti menemani setiap masakan dan makanan yang dihidangkan di meja makan saya.

Dulu saya sempat terheran-heran melihat sepupu saya suka sekali melumuri kerupuk putih yang keriting itu dengan siraman kecap manis yang kental. Saya sempat murka juga, ketika dia mogok makan gara-gara tidak ada kecap. Sampai segitunya ? Aneh banget !

Sekarang saya juga sudah keranjingan seperti itu. Makan pun rasanya kurang afdol kalau tidak ditemani kecap. Kadang, dalam satu kali makan ada dua rasa kecap yang mesti diadu di atas nasi...he he he...supaya rasanya seimbang...Belum lagi kalau ada tahu goreng yang panas...wuaaaaaahhhh...tanpa kecap rasanya akan kurang menggigit...
*
Kembali ke slogan produsen kecap, bahwa kecapnya adalah nomor satu.

Dipikir-pikir, ya memang iyalah...kecap itu kan urusan selera. Bagi yang suka, pasti kecap apa pun akan menjadi yang nomor satu. Seperti kecap yang saya bawa dari Bengkulu, yang saya temukan di sudut rak sebuah warung kecil di pinggiran kota Curup . Rasanya memang khas...dan nikmat sekali disantap dengan tahu goreng panas atau menjadi tambahan campuran tumis...hmmm....

Sama juga seperti kehidupan kita sehari-hari. Kalau sedang ada maunya, sedang ada selera atau kebutuhan terhadap sesuatu, maka semua menjadi nomor satu. Dalam bahasa marketing, kecap adalah penyedap rasa . Rayuan kita adalah rayuan kecap. Seakan-akan bujukan kita adalah bujukan yang terbaik. Maksud dan tujuan kitalah yang terbaik, sehingga luput cacat celanya.

Padahal...seperti kecap, masing-masing ada porsinya. Semua ada rumusnya. Semua ada ciri khasnya. Berbicara dalam bahasa kecap seyogyanya berbicara dalam bahasa hati. Bahasa perasaan. Bahasa kepekaan. Rasa yang mengglobal justru akan mematikan kepekaan kita terhadap sisi-sisi unik sebuah cita rasa yang diproses dari perjalanan waktu.

Bagi saya...kecap adalah pemahaman terhadap sebuah budaya. Paling tidak budaya kuliner yang menjadi bagian dari keseharian hidup suatu masyarakat. Kendati kecap adalah produk yang awalnya datang dari negeri yang jauh, tapi di setiap daerah ia sudah berasimilasi dengan budaya setempat. Ada local wisdom dalam hal selera dan tata cara makan. Jadi...kalau mau tahu bagaimana memahami suatu masyarakat...nikmatilah rasa kecapnya...
**)*(**
Jakarta, 21 November 2007
Salam kecap yang selalu nomor satu...
Ietje
from :
Art-Living Sos 2007 (A-11
Start : 21/11/2007 17:43
Finish : 21/11/2007 18:30
IETJE SRI UMIYATI GUNTUR <ietje_guntur@bca.co.id>

Tidak ada komentar: