Jumat, Juli 18, 2008

Seperti singa atau rusa


Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, tapi mata ini masih sulit terpejam, diruang tengah terdengar suara langkah yang sangat saya hapal iramanya, ya irama langkah ayah. Meskipun sudah satu tahun lebih tak bertemu, saya sangat hapal mana suara langkah ayah dan mana suara langkah ibu. Ternyata ayah tidak pernah sedikitpun melupakan kebiasaan lamanya, menengok dan memastikan anak-anaknya sudah tidur atau masih terjaga, serta memastikan apakah pintu depan telah dikunci atau belum.

Pintu kamar saya memang belum saya tutup, mata saya masih tertuju pada layar monitor computer yang menampilkan gambar padang sabana di Afrika dengan ribuan rusanya serta beberapa ekor singa yang sedang menanti waktu yang tepat untuk menghabisi mangsanya. Suara narator dan suara khas kawanan rusa yang panik dikejar-kejar seekor singa yang keluar dari speaker computer menarik perhatian ayah. Beliau masuk kekamar dan menegur saya yang sedang fokus memerhatikan layar monitor.

“ lagi apa Dhik?”

“ Liat makhluk telanjang lagi!” jawab saya pendek sambil terus memerhatikan

Ya saya menyebut binatang-binatang yang saya lihat di VCD atau TV sebagai makhluk telanjang, tapi walaupun demikian tidak disebut sebagai blue film loh. Sejenak ayah turut memerhatikan adegan demi adegan dalam film documenter itu tanpa berkedip, ya.. siapa yang rela melewatkan adegan dimana sang singa menghabisi mangsanya.. itu saat paling nenegangkan bagi penggemar film-film petualangan.

Ketika film berakhir, ayah bukannya pergi dari kamar saya, melainkan membawa saya pada perdebatan soal binatang tadi. Ayah sedikit protes dengan kebiasaan lama saya yang masih gemar melihat film-film dokumenter tentang flora dan fauna serta film-film dokumenter seri petualangan lainnya.

“ Kok kebiasaan lamamu tidak berubah ta Dhik?”

“ ya.. mau gimana lagi Yah, daripada liat sinetron dan berita yang isinya orang-orang cakar-cakaran melulu gak tuntas-tuntas, mending liat singa nyakar rusa, lebih seru, paling ujung-ujungnya si rusa mati dan menjadi santapan lezat singa lapar.”

Sebenarnya ayah sudah lama sekali protes dengan kebiasaan saya melihat film-film dokumenter, alasannya sih klasik.. itu kebiasaan anak tomboy. Tapi saya juga tidak pernah bergeming dengan alasan saya, melihat film dokumenter seri binatang jauh lebih menarik daripada melihat sinetron di televisi yang sama sekali tidak mengandung muatan pendidikan. Semakin diprotes semakin menjadi-jadi kegilaan saya pada binatang liar, setiap hari selalu saja ada vcd film-film dokumenter entah itu dari National Geographic, BBC, yang saya pinjam, semakin banyak kisah-kisah binatang yang menjadi bahan cerita saya dihadapan ayah.

Suatu hari ayah menanyakan mana makluk yang baik, singa atau rusa. Bila ditinjau dari sisi rantai makanan, kedua makluk itu tentu mempunyai peran masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam, bila salah satu tidak ada,maka keseimbangan ekosistem akan terganggu. Bila tak ada rusa, populasi rumput sabana menjadi tidak terkendali dan singa menjadi kehilangan sumber makanannya, sebaliknya bila singa tidak ada, populasi rusa tidak terkendali, dan mungkin rumput tidak akan mencukupi untuk mensuplai makanan bagi rusa.

Tapi bila harus memilih mana yang saya sukai, jujur saya memilih rusa, walau makluk lemah, dia makluk sosial yang hidup ditengah-tengah kawanan yang jumlahnya ribuan, meskipun makanannya hanya rumput, tapi kotoran yang dihasilkannya berguna untuk menyuburkan rumput yang sekaligus sumber makanannya, dagingnya yang lezat juga mampu menjadi sumber makanan makluk lain seperti singa, cheetah, maupun harimau.bila si rusa mati bukan karena diterkam singa, bangkainya pun masih bisa menjadi sumber makanan bagi hyena juga burung pemakan bangkai.

Sedangkan singa… wuihh… nggak deh,… walaupun dia kuat dan dijuluki sebagai raja hutan, tapi tak sekor makluk lainpun yang mau dekat-dekat dengannya, jangankan binatang lain, singa lainnya saja menjadi musuh. Lebih dari itu kotoran singa juga tak ada gunanya, paling banter menjadi butiran kering dan keras karena terpanggang matahari, tak ada rayap atau semut yang mau peduli dan mau mendekat untuk menguraikannya menjadi tanah. Bila singa mati, siapa yang peduli, siapa yang mau memanfaatkan dagingnya.. tak ada, mungkin hanya semut dan rayap yang mengurai sedikit demi sedikit tubuh si raja hutan tersebut… Apa gunanya jadi kuat tapi tak punya teman.

Kalimat-kalimat diatas pernah membuat saya secara tak sadar berucap kepada ayah “Ayah, aku mau menjadi seperti rusa, bukan singa.” Bagaimana dengan anda yang telah membaca tulisan ini, mau mengambil filosofi rusa atau singa? Semua terserah anda, semoga dari tulisan ini dapat dipetik hikmah. [ESBEA]

Regards,
Sribudi Astuti

from :
Sribudi Astuti
:www.melati-putihku.blogspot
.com

Tidak ada komentar: